Langsung ke konten utama

Terbiasa dengan Hal Instan

Beberapa minggu sebelum bulan Ramadhan lalu, saya sempat membawa beberapa alat seduh kopi manual yang saya miliki ke kantor tempat saya bekerja. Tujuannya sih sederhana, cuma untuk menghabisakan stok biji kopi yang sudah lebih dari 1 bulan sejak tanggal roasting, karena kalau terlalu lama disimpan kualitasnya akan semakin menurun. Untuk menyeduh biji kopi ini memang diperlukan usaha ekstra, harus menggiling sendiri biji kopinya kemudian baru bisa diseduh.

Metode pour over adalah metode yang paling saya sukai. Untuk menghasilkan minuman kopi dengan metode ini, saya butuh banyak alat mulai dari teko leher angsa, thermometer, timbangan, V60, paper filter dan stopwatch.
Saat saya nyeduh kopi dengan metode pour over ini, ada beberapa tanggapan dari orang-orang yang melihat saya menyeduh kopi.
Yang paling sering muncul seperti ini “Ah, ribet banget mau ngopi aja mesti begini dulu begitu dulu. Mending ini (kopi instan) tinggal seduh udah beres.”
Dan saya hanya jawab dengan analogi seperti ini “Untuk apa membiarkan ibu di rumah repot-repot masak soto, beli aja mie instan rasa soto, seduh, beres sudah perkara”

Ya, kita memang sangat dimudahkan oleh berbagai hal yang instan. Dari mulai makanan, minuman hingga cara-cara instan untuk meraih hal yang kita inginkan tanpa memperdulikan orang lain. Bahkan kita cenderung iri melihat kesuksesan orang lain, kita iri akan kesuksesannya tanpa kita tahu  sulitnya ia meraih kesuksesannya, sakitnya dia berjuang meraih kesuksesan.
Menurut saya, kesuksesan seseorang bagaikan fenomena gunung es. Kita hanya melihat puncak gunung es, kita hanya fokus melihat kebahagiaan yang ia rasakan dari kesuksesaanya. Tanpa kita ketahui dan kita lihat, ia telah mengeluarkan segala usaha keras yang tak jarang berujung berbagai kegagalan sebelum meraih kesuksesan.

Dari kopi saya pun belajar bahwa segala hal yang baik akan melalui proses yang panjang, bukan dengan hal yang instan. 
Dalam beberapa kasus yang saya lihat, banyak orang yang meraih kesuksesan dalam waktu singkat kemudian redup bahkan menghilang dengan cepat juga.

Easy come, easy go.

Terima kasih

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Atlet MMA-ku dan Sparing Partner-nya.

Di awal bulan agustus, aku punya banyak waktu untuk bermain dengan anakku. Antar jemput anak jadi salah satu agenda yang rutin aku lakukan. Di setiap sesi jemput anakku, aku tau seberapa senangnya Ami ketika di sekolah dia dapat Star dari gurunya dan seberapa sedihnya dia saat hanya dapat 1 Star sedangkan teman temannya dapat lebih dari 1 Star. Sehari hari waktuku banyak dihabiskan untuk bermain dengan anak anakku. Naura adalah anak yang selalu ikutin apapun yang dilakukan sama Ami. Ami manjat tralis jendela, Naura ikutan. Ami berlaga terbang kaya pahlawan super dengan dadanya yang menopang dipinggiran kursi, Naura pun ikutan. Aku ada di setiap momen mereka bermain, aku memantau aktifitas mereka mulai dari main bareng sampe berakhir dengan berantem rebutan mainan. Sampai suatu siang, saat aku dan Ibunya melakukan aktifitas lain. Ami marah sama Naura karena rebutan tempat duduk dan mukul dada Naura. Naura langsung nangis karena pukulan itu dan kami berusaha menenangkan mereka. Lompat ke...

Kerja di Lahan 'Basah'

Zaman masa kecil dulu, saya sering banget dengar percakapan beberapa tetangga. Mereka sering kali membicarakan bahwa kerja yang paling enak adalah kerja di lahan yang ‘basah’. Di masa itu, saya sering mendengar percakapan seperti ini “ Enak ya Bapak mu kerja di lahan basah. Dapet duitnya gampang, pecutan lebih gede dari gaji” atau “Enak ya kerja di lahan basah,  bisa beli ngumpulin harta, laki kita mah kaga bisa begitu”. Lahan basah yang dimaksud di sini sepertinya tidak perlu saya jelaskan, saya yakin para pembaca sudah mengetahui apa arti dari lahan basah. Dulu, saya ga mengerti makna yang sebenarnya dari kerja di lahan basah. Sejak saya menjalani masa kuliah dulu, saya baru menyadari arti kata lahan basah yang sebenarnya. Lahan basah punya konotasi yang menurut saya negatif. Kenapa negatif ? Saya bingung, kenapa banyak banget orang yang seneng kalo kerja di tempat yang disebut lahan basah. Saya juga bingung kenapa ada orang yang sangat bangga jika ada anggota...

Punya Banyak Uang Menjamin Bahagia ?

Minggu lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi daerah Ciamis, Jawa Barat. Dalam kesempatan itu ada pelajaran yang saya ambil dari orang-orang yang saya temui. Mungkin cerita ini sederhana, tapi dari cerita ini semakin meyakinkan saya bahwa hidup yang indah dan bahagia tak harus memiliki harta yang berlimpah, penghasilan yang besar dan nominal rekening tabungan yang gendut. Cerita pertama berasal dari seorang driver taksi Budiman, saya tak sempat melihat namanya karena saat itu jam menunjukan pukul 03.40 WIB. Sepanjang perjalanan ia bercerita tentang hidupnya, mulai dari hidup di jakarta hingga akhirnya mendapatkan jodoh di Ciamis. Menjelang akhir perjalanan, ia sempat bercerita kalau nominal uang yang ia terima saat ini lebih kecil daripada saat ia menjadi driver taksi Bluebird di Jakarta. Tapi ia justru sangat menyukurinya. Ia bilang seperti ini kira-kira, "kalau dibandingin uang yang didapat di jakarta sama disini jauh lah. Tapi dijalanin aja, buat apa kalo uang banyak...