Langsung ke konten utama

Marah karena Takut


Beberapa tahun lalu, pernah denger ada yang bilang kalo sumber marah kita didasari oleh rasa takut.
Ahh masa iya sih ?

Di tulisan ini, gw mau ceritain satu hal yang akhirnya bikin gw sadar di realita hidup gw.
Tentang apakah benar kalo marah itu didasari rasa takut ?

Sejak WFH banyak hal yang sering gw lakuin di rumah.
Salah satunya masak buat makan siang atau makan malem di rumah.
Bukan, bukan buat menjamin makanan higienis di tengah pandemic Covid-19.
Alasan utamanya adalah biar lebih hemat dibanding order makanan via ojol.

Sebelum proses masak, ada proses untuk mempersiapkan bahan bahannya.
Mulai dari kupas bawang, potong potong beberapa bahan masakan sampe semuanya siap untuk mulai dimasak.
Selama proses persiapan ini, Zahra, anak gadis aing, selalu ikut ikutan ke dapur.
Di usia dia yang sekarang satu setengah tahun, dia sering banget ngambil sesuatu yang bisa dia jangkau untuk dimasukin ke mulut dia.

Saat gw lagi sibuk potong bawang, Zahra selalu mendekat untuk pegang cutting board.
Spontan (uhuy) gw langsung marah marah sama dia.
Abis marahin dia gw puas banget, tapi beberapa jam setelahnya, gw mikir lagi.

Gw ngomong sama diri gw sendiri kenapa gw harus marah ya ?
Apa alasan gw sampe harus marahin dia ?

Gw coba melakukan pembenaran atas respon marah gw.
Ya wajar lah marah, dia ngeganggu prosesnya.
Bikin semuanya tambah lama selesainya.

Tapi setelah gw pikir lebih dalem, “ohh gw itu marah karena takut.”
Takut sama apa sih ?

Takut Zahra jadi luka kena pisau yg lagi gw pake.
Takut Zahra kecipratan minyak panas.
Takut dia narik piring yang ada di atas meja yang bisa pecah terus melukai dia.

Tuh kan, gw marah bukan karena terganggu sama keberadaan Zahra.
Tapi karena gw TAKUT.

Jadi, apakah sumber marah itu karena Takut ?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Atlet MMA-ku dan Sparing Partner-nya.

Di awal bulan agustus, aku punya banyak waktu untuk bermain dengan anakku. Antar jemput anak jadi salah satu agenda yang rutin aku lakukan. Di setiap sesi jemput anakku, aku tau seberapa senangnya Ami ketika di sekolah dia dapat Star dari gurunya dan seberapa sedihnya dia saat hanya dapat 1 Star sedangkan teman temannya dapat lebih dari 1 Star. Sehari hari waktuku banyak dihabiskan untuk bermain dengan anak anakku. Naura adalah anak yang selalu ikutin apapun yang dilakukan sama Ami. Ami manjat tralis jendela, Naura ikutan. Ami berlaga terbang kaya pahlawan super dengan dadanya yang menopang dipinggiran kursi, Naura pun ikutan. Aku ada di setiap momen mereka bermain, aku memantau aktifitas mereka mulai dari main bareng sampe berakhir dengan berantem rebutan mainan. Sampai suatu siang, saat aku dan Ibunya melakukan aktifitas lain. Ami marah sama Naura karena rebutan tempat duduk dan mukul dada Naura. Naura langsung nangis karena pukulan itu dan kami berusaha menenangkan mereka. Lompat ke...

Kerja di Lahan 'Basah'

Zaman masa kecil dulu, saya sering banget dengar percakapan beberapa tetangga. Mereka sering kali membicarakan bahwa kerja yang paling enak adalah kerja di lahan yang ‘basah’. Di masa itu, saya sering mendengar percakapan seperti ini “ Enak ya Bapak mu kerja di lahan basah. Dapet duitnya gampang, pecutan lebih gede dari gaji” atau “Enak ya kerja di lahan basah,  bisa beli ngumpulin harta, laki kita mah kaga bisa begitu”. Lahan basah yang dimaksud di sini sepertinya tidak perlu saya jelaskan, saya yakin para pembaca sudah mengetahui apa arti dari lahan basah. Dulu, saya ga mengerti makna yang sebenarnya dari kerja di lahan basah. Sejak saya menjalani masa kuliah dulu, saya baru menyadari arti kata lahan basah yang sebenarnya. Lahan basah punya konotasi yang menurut saya negatif. Kenapa negatif ? Saya bingung, kenapa banyak banget orang yang seneng kalo kerja di tempat yang disebut lahan basah. Saya juga bingung kenapa ada orang yang sangat bangga jika ada anggota...

Punya Banyak Uang Menjamin Bahagia ?

Minggu lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi daerah Ciamis, Jawa Barat. Dalam kesempatan itu ada pelajaran yang saya ambil dari orang-orang yang saya temui. Mungkin cerita ini sederhana, tapi dari cerita ini semakin meyakinkan saya bahwa hidup yang indah dan bahagia tak harus memiliki harta yang berlimpah, penghasilan yang besar dan nominal rekening tabungan yang gendut. Cerita pertama berasal dari seorang driver taksi Budiman, saya tak sempat melihat namanya karena saat itu jam menunjukan pukul 03.40 WIB. Sepanjang perjalanan ia bercerita tentang hidupnya, mulai dari hidup di jakarta hingga akhirnya mendapatkan jodoh di Ciamis. Menjelang akhir perjalanan, ia sempat bercerita kalau nominal uang yang ia terima saat ini lebih kecil daripada saat ia menjadi driver taksi Bluebird di Jakarta. Tapi ia justru sangat menyukurinya. Ia bilang seperti ini kira-kira, "kalau dibandingin uang yang didapat di jakarta sama disini jauh lah. Tapi dijalanin aja, buat apa kalo uang banyak...